Orang Nias di Padang
Kota Padang merupakan salah satu kota tua yang terletak di kawasan Pesisir Pantai Barat Sumaterat. Kota Padang memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: sebelah Utara berbatasan dengan Kabupeten Padang Pariaman, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pesisir Selatan, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Solok dan sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.
Menurut Sejarawan Universitas Andalas Anatona Gulo, luas Kota Padang sekarang dengan Padang dahulu berbeda. Sekarang kota Padang lebih luas. Ketika di masa pemerintahan VOC Belanda pada akhir abad 17, yang termasuk Kota Padang adalah daerah sekitar bibir pantai, kira-kira dari Teluk Bayur (dulu Emmahaven) sampai Ulak Karang Purus, dan arah ke timur sampai ke Simpang Haru.
Dahulunya Padang ini dikelilingi oleh daerah Padang Pariaman. Pada tahun 1980’an, setelah adanya pemekaran, daerah yang di luar Teluk Bayur sampai Ulak Karang dan Simpang Haru itu disebut dengan Padang Luar Kota, oleh karena itulah ada istilah Padang Kota dan Padang Luar Kota.
Lantas suku apakah pendatang paling awal di Kota Padang?
“Kalau pertanyaannya siapakah penduduk asli Kota Padang, maka kita mengacu kepada daerah yang kecil tadi (Teluk Bayur sampai Ulak Karang dan Simpang Haru). Dan boleh dikatakan salah satu pendatang awal ke Kota Padang itu adalah Suku Nias, karena orang Nias ini termasuk suku yang suka merantau. Namun mereka tak punya pilihan soal daerah tujuan merantau ini dan daerah tunjuan utama rantau mereka itu memang hanya ke daerah pesisir pantai barat sumatera,” ujar Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Andalas ini.
“Di Aceh orang Nias banyak, di Sibolga juga banyak, di Bengkulu juga, di Meulaboh juga banyak, tapi keberadaan orang Nias itu yang paling menonjol ya di Padang beberapa waktu lalu.
Ia mengatakan, menonjolnya orang Nias di Padang tidak terlepas dari keberadaan kota Padang sebagai pusat pemerintahan VOC Belanda pada akhir abad ke 17 dulu. Kota Padang di masa itu boleh dikatakan sebagai kota metropolitan seperti yang dikatakan oleh Rusli Amran dan kota besar tentu menjadi daya tarik bagi orang untuk mengadu nasib.
Faktor pertama kedatangan orang Nias ke kota Padang adalah untuk merantau dan mencari peruntungan. Sementara faktor kedua adalah karena mereka didatangkan oleh orang-orang Belanda atau orang Cina untuk menjadi tenaga kerja di kota Padang, karena mereka menganggap orang Nias adalah tenaga kerja yang ulet dan gigih.
“Dan di saat itu pada akhir abad 17 itu tidak banyak tenaga kerja orang Melayu atau orang Minang yang mau menjadi tenaga kerja kasar, sehingga didatangkanlah tenaga kerja dari Nias,” jelasnya.
Salah satu pemukiman terbesar orang Nias di Padang adalah di Puruih. Nama Puruih ini berasal dari bahasa Nias, yang dibaca ‘furui’ atau ‘vurui’ karena mereka tidak bisa membaca huruf ‘p’. Ia menyebutkan, arti dari kata Puruih itu adalah ‘melipat’.
Jadi masyarakat Nias yang tinggal di sana sering meilihat ombak besar melipat dan menggulung pemukiman mereka, sehingga terucaplah oleh mereka ‘difurui ita’ atau ‘dilipatnya kita’. Hingga saat ini, kawasan Puruih memang terkenal dengan ombaknya yang besar dan bergulung-gulung ketika menghempas ke tepi pantai.
“Itulah kenapa daerah itu dinamakan Puruih. Ini dari bahasa Nias, dalam bahasa Minang tidak akan ditemukan apa itu Puruih. Dan di sana (Puruih) juga ditemukan makam-makam orang Nias,” ujarnya.
Sumber: http://travel.m.klikpositif.com/baca/9251/nias--salah-satu-suku-pertama-penghuni-kota-padang?page=2
Minang Saisuak
Imigran dari Nias termasuk pendatang paling awal yang menghuni kota Padang. Konon mereka sudah sampai ke Padang sejak zaman kejayaan Aceh di abad ke-16 (atau mungkin lebih awal lagi). Namun, tampaknya mereka bukan melakukan migrasi spontan. Walaupun orang Nias tinggal di pulau-pulau di pantai barat Sumatra (pulau utama: Pulau Nias), tampaknya kehidupan mereka lebih berorientasi darat dan mereka tidak begitu pintar dalam tradisi pelayaran. Banyak orang Nias yang sampai ke pantai barat pulau Sumatra dibawa oleh orang-orang Aceh. Kaum bangsawan pantai, seperti di Pariaman dan Padang, mengolah tanah-tanah mereka dengan bantuan tenaga budak, yang umumnya didatangkan dari Pulau Nias.
Menurut J.T. Nieuwenhuisen dan H.C.B. Rosenberg (1863) tradisi bekerja untuk orang lain penebus hutang, gadai, atau jadi budak sudah merupakan tradisi dalam kehidupan orang Nias di kampung halaman mereka. Tampaknya kebiasaan mereka itu dimanfaatkan oleh orang-orang luar, seperti orang Aceh. Banyak di antara mereka menjadi orang yang tergadai karena tak mampu membayar utang (pandeling), semacam perbudakan terselubung. Beberapa surat dari raja-raja lokal di pantai barat Sumatra (seperti Singkil, Trumon, Susoh, Bulusama, dll.) yang kini tersimpan di Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda, menunjukkan bahwa orang Aceh sering menggarong perkampungan orang Nias di Pulau Nias dan secara paksa membawa penduduknya ke Tanah Tepi untuk dijual kepada orang-orang kaya guna dipekerjakan di pelabuhan, di perkebunan dan sebagai jongos dan babu (De Stuers 1850, II:68). Dalam perjalanan masa, akhirnya komunitas pendatang dari Pulau Nias ini menjadi bagian dari masyarakat Minang di pantai barat Sumatra. Keturunan koloni pendatang asal Nias umumnya kini mendiami daerah Palinggam dan Seberang Padang dan satuenclave di Kenagarian Tanjuang Basuang, Kabupaten Padang Pariaman (Anatona 1996). Umumnya mereka memeluk agama Kristen, meskipun ada yang pindah ke agama Islam. Mereka hidup berdampingan dengan damai dengan penduduk asli (orang Minang) dan etnis-etnis pendatang lainnya.
Aspek budaya yang lain seperti tari Balanse Madam (lihat: Risnawati dan R.M. Soedarsono 2003; Indrayuda 2009) dan hombo batu (lompat batu) juga masih tetap dipertahankan sampai sekarang. Keheterogenan (paco-pacomeminjam judul buku Freek Colombijn, 2006) kota Padang sejak dulu adalah sebuah anugerah Tuhan. Ciri kota Padang yang plural dari segi etnis dan agama itu kiranya elok dipertahankan.
Sumber: https://niadilova.wordpress.com/2012/03/26/minang-saisuak-82-tarian-orang-nias-di-padang/
Menurut Sejarawan Universitas Andalas Anatona Gulo, luas Kota Padang sekarang dengan Padang dahulu berbeda. Sekarang kota Padang lebih luas. Ketika di masa pemerintahan VOC Belanda pada akhir abad 17, yang termasuk Kota Padang adalah daerah sekitar bibir pantai, kira-kira dari Teluk Bayur (dulu Emmahaven) sampai Ulak Karang Purus, dan arah ke timur sampai ke Simpang Haru.
Dahulunya Padang ini dikelilingi oleh daerah Padang Pariaman. Pada tahun 1980’an, setelah adanya pemekaran, daerah yang di luar Teluk Bayur sampai Ulak Karang dan Simpang Haru itu disebut dengan Padang Luar Kota, oleh karena itulah ada istilah Padang Kota dan Padang Luar Kota.
Lantas suku apakah pendatang paling awal di Kota Padang?
“Kalau pertanyaannya siapakah penduduk asli Kota Padang, maka kita mengacu kepada daerah yang kecil tadi (Teluk Bayur sampai Ulak Karang dan Simpang Haru). Dan boleh dikatakan salah satu pendatang awal ke Kota Padang itu adalah Suku Nias, karena orang Nias ini termasuk suku yang suka merantau. Namun mereka tak punya pilihan soal daerah tujuan merantau ini dan daerah tunjuan utama rantau mereka itu memang hanya ke daerah pesisir pantai barat sumatera,” ujar Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Andalas ini.
“Di Aceh orang Nias banyak, di Sibolga juga banyak, di Bengkulu juga, di Meulaboh juga banyak, tapi keberadaan orang Nias itu yang paling menonjol ya di Padang beberapa waktu lalu.
Ia mengatakan, menonjolnya orang Nias di Padang tidak terlepas dari keberadaan kota Padang sebagai pusat pemerintahan VOC Belanda pada akhir abad ke 17 dulu. Kota Padang di masa itu boleh dikatakan sebagai kota metropolitan seperti yang dikatakan oleh Rusli Amran dan kota besar tentu menjadi daya tarik bagi orang untuk mengadu nasib.
Faktor pertama kedatangan orang Nias ke kota Padang adalah untuk merantau dan mencari peruntungan. Sementara faktor kedua adalah karena mereka didatangkan oleh orang-orang Belanda atau orang Cina untuk menjadi tenaga kerja di kota Padang, karena mereka menganggap orang Nias adalah tenaga kerja yang ulet dan gigih.
“Dan di saat itu pada akhir abad 17 itu tidak banyak tenaga kerja orang Melayu atau orang Minang yang mau menjadi tenaga kerja kasar, sehingga didatangkanlah tenaga kerja dari Nias,” jelasnya.
Salah satu pemukiman terbesar orang Nias di Padang adalah di Puruih. Nama Puruih ini berasal dari bahasa Nias, yang dibaca ‘furui’ atau ‘vurui’ karena mereka tidak bisa membaca huruf ‘p’. Ia menyebutkan, arti dari kata Puruih itu adalah ‘melipat’.
Jadi masyarakat Nias yang tinggal di sana sering meilihat ombak besar melipat dan menggulung pemukiman mereka, sehingga terucaplah oleh mereka ‘difurui ita’ atau ‘dilipatnya kita’. Hingga saat ini, kawasan Puruih memang terkenal dengan ombaknya yang besar dan bergulung-gulung ketika menghempas ke tepi pantai.
“Itulah kenapa daerah itu dinamakan Puruih. Ini dari bahasa Nias, dalam bahasa Minang tidak akan ditemukan apa itu Puruih. Dan di sana (Puruih) juga ditemukan makam-makam orang Nias,” ujarnya.
Sumber: http://travel.m.klikpositif.com/baca/9251/nias--salah-satu-suku-pertama-penghuni-kota-padang?page=2
Minang Saisuak
Imigran dari Nias termasuk pendatang paling awal yang menghuni kota Padang. Konon mereka sudah sampai ke Padang sejak zaman kejayaan Aceh di abad ke-16 (atau mungkin lebih awal lagi). Namun, tampaknya mereka bukan melakukan migrasi spontan. Walaupun orang Nias tinggal di pulau-pulau di pantai barat Sumatra (pulau utama: Pulau Nias), tampaknya kehidupan mereka lebih berorientasi darat dan mereka tidak begitu pintar dalam tradisi pelayaran. Banyak orang Nias yang sampai ke pantai barat pulau Sumatra dibawa oleh orang-orang Aceh. Kaum bangsawan pantai, seperti di Pariaman dan Padang, mengolah tanah-tanah mereka dengan bantuan tenaga budak, yang umumnya didatangkan dari Pulau Nias.
Menurut J.T. Nieuwenhuisen dan H.C.B. Rosenberg (1863) tradisi bekerja untuk orang lain penebus hutang, gadai, atau jadi budak sudah merupakan tradisi dalam kehidupan orang Nias di kampung halaman mereka. Tampaknya kebiasaan mereka itu dimanfaatkan oleh orang-orang luar, seperti orang Aceh. Banyak di antara mereka menjadi orang yang tergadai karena tak mampu membayar utang (pandeling), semacam perbudakan terselubung. Beberapa surat dari raja-raja lokal di pantai barat Sumatra (seperti Singkil, Trumon, Susoh, Bulusama, dll.) yang kini tersimpan di Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda, menunjukkan bahwa orang Aceh sering menggarong perkampungan orang Nias di Pulau Nias dan secara paksa membawa penduduknya ke Tanah Tepi untuk dijual kepada orang-orang kaya guna dipekerjakan di pelabuhan, di perkebunan dan sebagai jongos dan babu (De Stuers 1850, II:68). Dalam perjalanan masa, akhirnya komunitas pendatang dari Pulau Nias ini menjadi bagian dari masyarakat Minang di pantai barat Sumatra. Keturunan koloni pendatang asal Nias umumnya kini mendiami daerah Palinggam dan Seberang Padang dan satuenclave di Kenagarian Tanjuang Basuang, Kabupaten Padang Pariaman (Anatona 1996). Umumnya mereka memeluk agama Kristen, meskipun ada yang pindah ke agama Islam. Mereka hidup berdampingan dengan damai dengan penduduk asli (orang Minang) dan etnis-etnis pendatang lainnya.
Aspek budaya yang lain seperti tari Balanse Madam (lihat: Risnawati dan R.M. Soedarsono 2003; Indrayuda 2009) dan hombo batu (lompat batu) juga masih tetap dipertahankan sampai sekarang. Keheterogenan (paco-pacomeminjam judul buku Freek Colombijn, 2006) kota Padang sejak dulu adalah sebuah anugerah Tuhan. Ciri kota Padang yang plural dari segi etnis dan agama itu kiranya elok dipertahankan.
Sumber: https://niadilova.wordpress.com/2012/03/26/minang-saisuak-82-tarian-orang-nias-di-padang/